Rabu, 16 Desember 2009

KELOMPOK 11

KELOMPOK 11

YANCE LAKI ENDI (080403010045)

NIXSON

YUDHA




STUDI KASUS DESKRIPTIF EFEKTIVITAS PELAKSANAAN

REGULASI PERIZINAN RUMAH SAKIT UMUM



ABSTRAK


Latar belakang: Dalam konteks good governance, pemerinta mempunyai peran penting dalam regulasi, yang bertujuan untuk menjamin keselamatan pasien. Perizinan rumah sakit untuk rumah sakit pemerintah dan swasta merupakan salah satu aktivitas regulasi, terutama didelegasikan ke tingkat kabupaten.

Pendelegasian wewenang ini menimbulkan beberapa permasalahan, sehingga memerlukan evaluasi implementasinya di tingkat kabupaten.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepatuhan rumah sakit untuk memenuhi standar perizinan di Provinsi DIY.

Metode: Dilakukan penelitian studi kasus deskriptif dengan rancangan studi kasus terpancang, menggunakan observasi dan wawancara mendalam dalam pengumpulan datanya. Enam rumah sakit, terdiri dari dua rumah sakit kabupaten dan 4 rumah sakit swasta telah dipilih dari 1 kotamadia dan 1 kabupaten di DIY. Instrumen yang digunakan berupa cek-lis yang dikembangkan dari standar perizinan rumah sakit, terdiri dari empat komponen utama yaitu governance dan manajemen, hak pasien dan etika rumah sakit, pelayanan dan fasilitas fisik.

Hasil: Kepatuhan terhadap perizinan rumah sakit di rumah sakit pemerintah dan swasta tidak mencapai 100,0% seperti yang seharusnya dipersyaratkan. Dari keempat komponen yang dinilai, hanya komponen hak pasien dan etika rumah sakitlah yang mencapai tingkat optimal. Proporsi terkecil adalah pada aspek governance dan manajemen, yaitu 64,0%.

Kesimpulan: Meskipun rumah sakit belum memenuhi persyaratan perizinan, dua dari tiga rumah sakit swasta yang diteliti mempunyai izin dan satu diantaranya tidak mempunyai izin namun tetap operasional. Perizinan untuk rumah sakit pemerintah belum diatur, meskipun ketiganya belum memenuhi persyaratan. Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi perizinan rumah sakit belum efektif.

Kata Kunci: regulasi pelayanan kesehatan, perizinan rumah sakit, efektivitas, studi kasus






BAHAN DAN CARA PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode studi kasus deskriptif, dengan rancangan multikasus terpancang. Alasan pemilihan studi kasus karena focus penelitiannya terletak pada fenomena-fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata, peneliti tidak memiliki peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diteliti, serta pokok pertanyaan penelitian ini berkenaan dengan mengapa dan bagaimana.3 Unit analisis dalam penelitian ini adalah dinas kesehatan kabupaten/ kota. Pemilihan dinas kesehatan di tingkat kabupaten dilakukan secara purposif, dengan kriteria kabupaten yang telah memiliki Perda perizinan sarana pelayanan kesehatan dan telah mengeluarkan izin sarana (Kabupaten Bantul), serta kabupaten yang belum memiliki Perda perizinan (kotamadia). Data yang disajikan pada makalah ini merupakan unit analisis terpancang pada tingkat rumah sakit. Pemilihan rumah sakit mempertimbangkan kepemilikan (swasta atau pemerintah) dan kelas (C dan D).

Alat penelitian yang digunakan adalah checklist/ instrumen perizinan rumah sakit untuk menilai kepatuhan rumah sakit terhadap pemenuhan persyaratan dalam standar perizinan. Penilaian instrumen ini dilakukan dengan cara observasi langsung dan wawancara terhadap pihak rumah sakit. Tim penilai terdiri dari tiga orang, dengan latar belakang fisik bangunan/arsitektur, manajemen rumah sakit, dan menangani regulasi pelayanan di dinas kesehatan provinsi. Dokumentasi berbentuk foto juga diambil untuk memperkuat data. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif menggunakan proporsi pemenuhan terhadap persyaratan dalam standar perizinan rumah sakit.







RS

izin/Akreditasi


Kepemilikan


Tipe

RS


Jumlah

TT


BOR


LOS

hari)


TOI


GDR


NDR


1

2

3

4

5

6


-/-

+/-

-/+

-/+

+/+

-/-


ABRI

Swasta

Pemerintah

Pemerintah

Swasta

Swasta


C

D

C

C

D

D


65

50

124

131

111

16


59,34

29,60

56,00

65,13

63,23

56,21


5,01

3,90

4,90

4,57

3,49

4,05


3,40

8,80

3,00

2,20

2,90

3,28


0,96

1.68

40,70

26,30

2,62

2,63


0,74

0,00

18,10

8,40

0,02

0,00


Tabel 1. Data Karakteristik Enam Rumah Sakit yang Diteliti









HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sejumlah enam rumah sakit diteliti, 3 berada di wilayah kotamadia dan 3 berada di Kabupaten Bantul. Rumah sakit tersebut berimbang dalam hal kelas rumah sakit (C dan D), kepemilikan (pemerintah dan swasta), namun bervariasi dalam hal kapasitas tempat tidur. Terdapat rumah sakit yang kapasitas tempat tidurnya tidak memenuhi persyaratan minimal (yaitu hanya 16 tempat tidur). aspek yang lain belum memenuhi, dengan pencapaian terendah pada governance dan manajemen.


PEMBAHASAN


Lisensi (perizinan) adalah suatu proses pemberian izin oleh pemerintah kepada individu dan/ atau lembaga pelayanan kesehatan untuk melaksanakan misinya. Regulasi lisensi dikembangkan untuk menjamin bahwa individu dan/ Dari enam rumah sakit yang diteliti, tidak satu pun rumah sakit yang 100% memenuhi persyaratan perizinan rumah sakit, dengan variasi antara 78% - 90%, terendah di rumah sakit enam. Tampak bahwa kesenjangan antarrumah sakit yang terbesar terdapat pada aspek governance dan manajemen (antara rumah sakit 4 dan 6), dan aspek pelayanan dan klasifikasi rumah sakit (antara rumah sakit 3 dan 6). Di antara enam rumah sakit tersebut, rumah sakit keenam hanya mencapai lebih kurang separoh dari persyaratan pada aspek governance dan manajemen serta pelayanan.

Apabila dilihat dari empat aspek dalam komponen standar perizinan rumah sakit, maka

aspek sosial, hak pasien dan etika rumah sakit telah memenuhi persyaratan perizinan, sedangkan ketiga atau lembaga pelayanan kesehatan tersebut telah memenuhi standar minimal untuk melindungi keselamatan publik dan tenaga kesehatan.

Perizinan rumah sakit merupakan regulasi eksternal yang diterapkan bagi seluruh rumah sakit (pemerintah ataupun swasta) yang bertujuan untuk melindungi keselamatan masyarakat melalui penerapan standar input minimal yang harus dipenuhi sejak pendirian, penyelenggaraan hingga monitoring rumah sakit, serta untuk menetapkan bahwa pihak yang mengajukan izin pendirian rumah sakit mempunyai kualifikasi, latar belakang dan sumber daya yang memadai untuk memenuhi standar tersebut.

Berdasarkan pemahaman di atas, seharusnya seluruh lembaga pelayanan yang operasional mempunyai izin, lembaga pelayanan yang berizin mampu memenuhi persyaratan perizinan, sedangkan bagi yang belum memenuhi persyaratan tentunya belum memperoleh izin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak seluruh rumah sakit yang telah operasional mempunyai izin dan rumah sakit yang berizin pun belum dapat memenuhi 100% persyaratan perizinan. Rerata kepatuhan tertinggi justru terdapat pada rumah sakit umum milik pemerintah (90,43%) dan terendah di rumah sakit milik swasta (71,77%). Padahal selama ini kebijakan

atau peraturan perizinan rumah sakit adalah bagi rumah sakit swasta. Perizinan bagi rumah sakit

pemerintah, justru belum diatur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa implementasi regulasi perizinan bagi rumah sakit umum swasta pun belum efektif, baik secara administratif maupun dari aspek pemenuhan standarnya.

Di antara enam rumah sakit tersebut, tiga rumah sakit dengan tingkat kepatuhan tinggi (yaitu RS 3, RS 4 dan RS 5) adalah rumah sakit yang telah terakreditasi oleh KARS (dua RS pemerintah dan satu rumah sakit swasta). Hal ini dapat menjelaskan mengapa tingkat kepatuhannya relatif tinggi. Meskipun demikian, menarik untuk dicermati bahwa ketiga rumah sakit tersebut pun belum dapat mencapai 100% persyaratan dalam standar perizinan rumah sakit.

Izin suatu pelayanan kesehatan bias diterbitkan setelah dilakukan kunjungan inspeksi

dan ternyata memang sebuah pelayanan kesehatan tersebut telah memenuhi persyaratan

ataupun standar perizinan maka izin untuk melakukan pelayanan kesehatan bisa segera

diterbitkan. Tahap berikutnya setelah izin diterbitkan adalah melihat proses pelayanan dan

menilai kinerja institusi pelayanan kesehatan tersebut, sehingga diperlukan mekanisme evaluasi

dan monitoring yang harus selalu dilakukan secara rutin dan berkala untuk mengetahui apakah proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut masih tetap memberikan pelayanan sesuai standar atau ada perubahan dalam perjalanannya.

Walshe menyatakan bahwa peran regulasi pelayanan kesehatan meliputi direction, detection, dan regulatory enforcement. Direction bertujuan

untuk mengarahkan fungsi pelayanan kesehatan melalui penyusunan, penetapan, dan diseminasi standar. Detection adalah kegiatan penilaian atau pengukuran kinerja pelayanan kesehatan dengan cara inspeksi, monitoring laporan, dan investigasi, sedangkan regulatory enforcement dilakukan dengan penerapan sanksi, pembatasan layanan, denda, maupun intervensi manajemen. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam suatu system regulasi pelayanan kesehatan.

Dengan demikian, perizinan tidak hanya dilakukan pada awal mulainya suatu rumah sakit

(izin pendirian dan izin penyelenggaraan), akan tetapi perlu dikembangkan pula mekanisme dan

persyaratan untuk monitoring perizinan. Monitoring bermanfaat untuk mengetahui apakah setiap saat rumah sakit tetap memenuhi persyaratan perizinan serta apabila tidak lagi memenuhi persyaratan tersebut, harus diantisipasi mekanisme khusus bagi rumah sakit untuk melakukan tindakan koreksi tersebut. Sebagai contoh, rumah sakit keenam mempunyai kepatuhan yang terendah dalam memenuhi persyaratan perizinan serta tidak lagi memenuhi persyaratan kapasitas tempat tidur rumah sakit, namun tetap diperbolehkan untuk operasional.

Dalam kondisi demikian, perlu dipertimbangkan pemberian kembali izin operasional rumah sakit

dan kesempatan bagi rumah sakit untuk memperbaikinya. Di beberapa negara, pelayananpelayanan tertentu (seperti halnya rawat jalan) dapat tetap dilaksanakan, akan tetapi rumah sakit tidak dapat secara penuh memberikan pelayanannya, sampai dengan persyaratan perizinan dapat dipenuhi kembali. Berbagai mekanisme ini perlu dikembangkan dengan tujuan

tetap menjaga keselamatan pasien dan memberi kesempatan pada rumah sakit untuk perbaikan.

Agar peran regulasi pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan secara efektif, terdapat empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam desain dan implementasi regulasi.7,8 Faktor tersebut adalah informasi, kapasitas, otoritas dan konteks. Informasi terkait dengan pemahaman pihak regulator, pihak yang diregulasi, serta masyarakat terhadap standar dan prosedur, simetris tidaknya informasi yang dimiliki setiap pihak, umpan balik penilaian dan monitoring perizinan, serta transparansi informasinya. Kapasitas menyangkut ketersediaan sumber daya di pihak regulator, pemahaman dan keterampilan sumber daya manusia terhadap standar dan pelaksanaan penilaian, serta struktur organisasinya. Otoritas meliputi kejelasan mengenai

otoritas pihak yang meregulasi dan diregulasi, kejelasan antara peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten), kredibilitas dan efektivitas sistem sanksi, kekuatan lembaga konsumen, media dan asosiasi profesi dan sumber-sumber konflik, sedangkan konteks dapat dikaitkan dengan konteks politik, sosial ekonomi dan budaya. Untuk melaksanakan Undang-Undang No. 32/20049 dalam konteks good governance di bidang kesehatan10, pemahaman departemen kesehatan, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten terhadap faktor-faktor di atas dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas regulasi pelayanan.




















KESIMPULAN DAN SARAN


Melalui penilaian kepatuhan terhadap standar perizinan rumah sakit, penelitian ini menyimpulkan bahwa regulasi perizinan rumah sakit belum dilaksanakan secara efektif, baik di daerah yang telah memiliki Perda dan mengeluarkan izin sarana ataupun yang belum memiliki Perda. Untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu diperhatikan aspek desain regulasi perizinan rumah sakit, informasi yang jelas tentang prosedur dan mekanisme perizinan bagi di pihak dinas kesehatan sebagai regulator dan rumah sakit, kapasitas dinas kesehatan kabupaten untuk melakukan survei dan monitoring perizinan, serta otoritas perizinan rumah sakit.





































KEPUSTAKAAN


  1. Gilson, L., & Thomas, S. Introduction: Intervening in The Public/Private Mix. In: Soderlund, Mendoza-Arana and Goudge (eds). The new Public/Private Mix In Health: Exploring

The Changing Landscape. Geneva: Alliance For Health Policy And Systems Research. 2003.

  1. Utarini, A. Alternatif Strategi Pelaksanaan Peran Regulasi Pascadesentralisasi Di Daerah. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2004; 7(2): 61-8.

  2. Yin, R.K. Case Study Research: Design and Methods. Sage Publications. London. 1994.

  3. Rooney, A.L., & Ostenberg, P.R. van. Licensing, Accreditation and Certification: Approaches To Health Services Quality. Quality Assurance Methodology Refinement Series. Quality Assurance Project, Bethesda MD, USA. 1999.

  4. Departemen Kesehatan. Draft Standar Perizinan Rumah Sakit Umum Klas B, C dan D. Departemen Kesehatan. Jakarta. 2005.

  5. Walshe, K. Regulating Healthcare. A Prescription for Improvement. Open University. Philadelphia. 2003.

  6. Hongoro, C., Kumaranayake, L. Do they work? Regulating For-Profit Providers in Zimbabwe. Health Policy and Planning. 2000; 15 (4): 368- 377.

  7. Soderlund, N., Tangcharoensathien, V. Health Sector Regulation – Understanding the Range of Responses from Government. Health Policy and Planning. 2000; 15(4): 347-8.

  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 2004.

  9. Trisnantoro, L. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2004.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar